7 Kelemahan Samsung Terbaru 2025: Wajib Kamu Ketahui

Apa saja kelemahan Samsung? Samsung memang masih jadi raja di dunia smartphone, tapi di 2025 ini, realitanya nggak semulus yang terlihat di iklan. Saya pribadi sudah cukup lama pakai produk Samsung, dan makin ke sini saya merasa ada beberapa hal yang mulai bikin goyah. Bukan berarti jelek — tapi penting banget buat kamu tahu kelemahannya sebelum keluar uang puluhan juta buat seri terbarunya.

Selama beberapa tahun terakhir, Samsung fokus besar pada inovasi desain dan integrasi AI. Tapi justru di situ titik lemahnya mulai terlihat — banyak perubahan yang sifatnya kosmetik, sementara performa dan efisiensi belum benar-benar melonjak. Dari pengalaman saya dan berbagai ulasan global, ada tujuh kelemahan besar yang wajib kamu tahu sebelum memutuskan beli Samsung terbaru.

kelemahan samsung

Yuk, saya bahas satu per satu dengan cara yang jujur, ringan, tapi tetap tajam.


7 Kelemahan Samsung

1. Inovasi Samsung Mulai Kehilangan “Wow Factor”

Saya masih ingat masa-masa waktu Galaxy S7 muncul — rasanya revolusioner. Tapi sekarang? Seri Galaxy S25 dan Z Fold6 kelihatannya keren, tapi perubahan yang mereka tawarkan terasa lebih ke “penyempurnaan kecil”, bukan terobosan besar.
Desainnya nyaris sama, fitur barunya lebih ke penyematan AI features yang, jujur, belum terasa benar-benar mengubah pengalaman pakai.

Kompetitor seperti Xiaomi dan Honor sudah lebih berani bermain di area AI dan kamera sinematik, sementara Samsung cenderung aman di zona nyaman.
Buat saya, kalau kamu cari sensasi “wow” dari flagship 2025, mungkin bakal sedikit kecewa.


2. Chipset Exynos Masih Tertinggal dari Snapdragon

Ini salah satu hal yang sering saya rasakan sendiri. Seri Samsung yang pakai Exynos, terutama di pasar non-AS, biasanya terasa lebih cepat panas dan kurang efisien baterainya.
Di 2025, mereka sudah pakai Exynos 2500, tapi tetap belum bisa menandingi Snapdragon 8 Gen 3.

Kalau kamu sering main game berat atau multitasking lama-lama, Exynos masih punya isu throttling dan suhu tinggi.
Benchmark Geekbench juga menunjukkan selisih yang cukup signifikan di performa GPU. Jadi, kalau kamu gamer atau power user, hati-hati pilih varian yang salah.


3. Fitur AI Canggih, Tapi Masih Setengah Matang

Samsung bawa banyak fitur AI baru, seperti live translation, note summarizer, dan circle to search. Tapi dalam prakteknya, banyak yang belum stabil.
Beberapa fitur hanya bisa jalan dengan koneksi internet yang cepat, dan bahasa Indonesia belum didukung penuh di semua fungsi.

Kadang hasil terjemahannya juga terasa kaku dan belum natural.
Saya pribadi merasa ini lebih seperti “beta test” daripada fitur matang. Sementara Apple dengan Apple Intelligence dan Google dengan Gemini sudah lebih stabil dan efisien.


4. Harga Premium, Tapi Fitur Dikorbankan

Nah, ini yang paling terasa buat konsumen: kamu bayar mahal, tapi dapatnya justru berkurang.
Samsung sekarang makin agresif menekan biaya produksi — salah satunya dengan menghapus charger dalam kotak dan mengurangi fitur Bluetooth di S Pen versi terbaru.

Belum lagi fitur Qi2 magnetic charging yang katanya modern, tapi anehnya cuma bisa dipakai kalau kamu beli casing khusus.
Saya jadi merasa, Samsung menjual image premium, tapi nilai gunanya nggak sebanding dengan harga yang melonjak.

Kalau dibandingkan dengan Xiaomi 14 Ultra atau iQOO 12 yang lebih murah tapi fiturnya lengkap, Samsung terasa kalah value for money-nya.


5. Terlalu Bergantung pada Bisnis Chip & Layar

Banyak orang nggak sadar bahwa separuh keuntungan Samsung masih datang dari bisnis semikonduktor dan layar OLED, bukan dari smartphone-nya.
Masalahnya, pasar chip global lagi nggak stabil. Kompetitor seperti TSMC dan SK Hynix bahkan mulai menyalip Samsung di memori HBM untuk AI server.

Akibatnya, fokus Samsung ke pengembangan smartphone jadi agak tersisih.
Saya lihat mereka lebih sibuk memperbaiki profitabilitas chip ketimbang dorong inovasi di sektor ponsel. Ini bisa jadi alasan kenapa perkembangan produknya terasa “setengah hati.”


6. Update Software Panjang, Tapi Nggak Selalu Lancar

Samsung sekarang kasih janji update Android sampai 7 tahun — kedengarannya luar biasa. Tapi di lapangan, ada catatan penting:
Beberapa pengguna melaporkan performa HP-nya justru menurun setelah update besar.

Saya pun pernah alami hal serupa — setelah update One UI baru, baterai jadi lebih boros dan ada bug di beberapa aplikasi.
Jadi walaupun support-nya panjang, bukan berarti stabilitasnya selalu terjaga.

Kalau kamu pengguna yang mengandalkan HP untuk kerja, mungkin perlu tunda update besar sampai review stabilitasnya keluar.


7. Dukungan Servis di Indonesia Masih Belum Merata

Ini kelemahan yang sering diabaikan tapi sangat nyata.
Service center Samsung memang banyak, tapi kualitasnya belum seragam.
Di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, cepat dan rapi. Tapi di daerah seperti Bali atau Kalimantan, kadang stok suku cadang bisa menunggu berminggu-minggu.

Garansi pun masih sering bikin pusing karena peraturan regional yang beda-beda.
Saya pribadi pernah bantu teman klaim garansi, dan prosesnya bisa makan waktu 14 hari lebih — padahal cuma ganti layar.

Untuk merek sebesar Samsung, hal seperti ini mestinya sudah bisa diatasi.


Analisis Saya: Kenapa Ini Terjadi?

Kalau saya lihat dari sisi bisnis, Samsung sudah terlalu besar dan birokratis.
Setiap keputusan produk harus melewati banyak lapisan manajemen, yang bikin inovasi melambat.
Mereka juga berfokus pada safe design dan margin keuntungan, bukan lagi eksplorasi radikal seperti dulu.

Masalahnya, di era AI dan pasar yang cepat berubah, pendekatan seperti ini bisa berisiko.
Kalau Samsung tidak mulai berani keluar dari pola lamanya, dominasi mereka bisa goyah menghadapi Apple dan merek Tiongkok yang agresif berinovasi.


Kesimpulan: Harus Beli Samsung di 2025?

Kalau kamu cari HP stabil, build quality bagus, dan layanan purna jual terpercaya — Samsung masih pilihan solid.
Tapi kalau kamu ingin inovasi baru, performa AI matang, dan harga yang benar-benar sepadan dengan fitur, kamu perlu pikir dua kali sebelum upgrade ke seri terbaru.

Samsung sekarang ada di titik di mana nama besarnya masih kuat, tapi rasa “unggulnya” mulai menipis.
Sebagai pengguna, saya rasa penting banget buat tetap objektif — jangan cuma beli karena merek, tapi karena fungsinya benar-benar cocok dengan kebutuhanmu.

Ingin Tahu Teknologi Terbaru yang Lagi Panas di 2025

logo bali tech talk

Kalau kamu ingin terus update dengan perkembangan teknologi, AI, dan inovasi digital terbaru di Indonesia, Baca berita teknologi terbaru di Bali Tech Talk.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *